Pages

Sabtu, 22 Oktober 2016

Rumah

Rumah. Apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar kata itu? Mungkin kau akan membayangkan satu tempat yang nyaman, lengkap dengan orang-orang yang juga membuatmu nyaman. Jika iya, maka beruntunglah. Karena tidak semua orang dapat merasakan hal yang sama.. Termasuk aku.

Aku dibesarkan dalam keluarga yang individualis. Aku lupa bagaimana rasanya berkumpul bersama keluarga seperti yang biasa keluarga lain lakukan. Meskipun ada dalam satu atap, namun seperti ada jarak di antara kita semua. Hal itu membuatku menjadi pribadi yang benar-benar senang menyendiri. Aku tidak suka ada di tengah keramaian, sendiri selalu terasa lebih baik.

Sejak kecil, aku tidak pernah diajari mengenai keterbukaan. Sehingga sampai saat ini jika ada sesuatu yang terjadi, bercerita bukanlah satu solusi. Hal itu membuatku menjadi pribadi yang tertutup. Aku tidak suka membicarakan masalahku kepada orang lain. Aku tahu, orang lain hanya dapat mendengarkan tanpa benar-benar mengerti apa yang kita rasakan.

Aku selalu diajarkan mengenai kemandirian. Karena itu, saat ini aku dapat berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tidak ketergantungan pada orang lain. Aku terbiasa menyelesaikan masalahku sendiri. Aku terbiasa menjadi tempat mengadu bagi diriku sendiri. Sering kali aku merasa tidak memiliki siapapun, padahal nyatanya mereka ada.

Jika diberi kesempatan, aku ingin merasakan bagaimana hangatnya dekapan seorang ibu. Aku ingin merasakan bagaimana senangnya melihat ibu tersenyum ketika aku menginjakkan kaki ke dalam rumah. Aku ingin merasakan adanya sosok ibu ketika semua beban tak dapat aku tanggung sendiri. Aku merasa dunia ini terlalu keras jika harus aku hadapi seorang diri.

Jika diberi kesempatan, aku ingin merasakan bagaimana rasanya berbicara banyak dengan ayah. Aku ingin membicakan tentang mimpiku, dan tentang segalanya. Aku punya banyak mimpi, Yah. Aku ingin berbagi semua itu denganmu karena aku tau kaulah yang dapat mengerti semua mimpiku.

Jika diberi kesempatan, aku ingin merasakan bagaimana kasih sayang seorang kakak. Aku ingin kita berbagi canda tawa lagi seperti dulu. Aku ingin merasakan ada seseorang yang dapat menjadi tempatku berbagi cerita. Saat ini memulai pembicaraan pun rasanya aku tidak mampu, rasanya kita sudah terlalu jauh.

Aku rindu. Aku rindu kebersamaan kita dulu. Tapi aku juga tahu bahwa roda kehidupan akan terus berputar, segala sesuatu tidak mungkin dapat terulang kembali. Segala hal yang sudah retak tidak mungkin dapat kembali ke bentuk semula. Tapi.. Meskipun segalanya tak sesuai yang diharapkan, aku sangat bersyukur. Aku bersyukur masih memiliki kalian secara utuh.

Jika boleh jujur, aku sayang sekali pada kalian. Sayang sekali. Tapi aku tidak tahu cara mengungkapkannya, karena aku tidak pernah diajarkan bagaimana caranya mengungkapkan kasih sayang. Aku hanya bisa menuangkan semuanya dalam tulisan ini –tulisan yang mungkin tidak akan pernah kalian baca.

Minggu, 07 Agustus 2016

Tentang Dua Hari yang Lalu

Dua hari yang lalu.. Aku masih tidak bisa melupakan hari itu. Saat itu kita bertemu di satu momen yang entah bisa dinamakan kebetulan atau tidak. Saat seorang teman menghubungiku dan berkata bahwa kamu ada di sana, seketika senyuman mengembang di bibirku. Jantungku berdegup semakin kencang ketika melangkah ke arah dimana kamu sedang berada.

Sesampainya di sana, aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku yang semakin tidak terkendali. Senyuman lebar selalu menghiasi wajahku meskipun aku sudah berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin. Di tengah kerumunan orang, aku lihat ada kamu di sana. Sesekali aku melihat ke arahmu, entah kamu menyadari atau tidak.

Lalu tiba-tiba saja.. Ada suatu hal yang membuat jarak kita semakin mendekat. Sungguh.. Aku tidak bisa menyembunyikan raut wajahku yang sepertinya semakin terlihat ‘tidak biasa’. Dan lagi, aku harus bersikap sebiasa mungkin agar kamu tidak curiga. Tapi tiba-tiba saja kamu mengatakan sesuatu kepadaku yang membuat jantungku berdegup semakin kencang. Mungkin perkataanmu biasa saja, tapi karena kamu yang mengatakan rasanya jadi berbeda.

Setelah itu, aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia di dalam hatiku yang sepertinya semakin menjadi-jadi. Aku jadi ingat, dua hari sebelumnya kita juga bertemu secara tidak sengaja di satu tempat. Aku tidak bisa berkata apa-apa ketika tiba-tiba saja kamu melewat di hadapanku dan mata kita bertemu. Untuk menyapamu atau hanya tersenyum kepadamu saja rasanya lebih sulit dari apapun.

Hmm.. Entah harus dinamakan apa perasaan ini, tapi setauku ketika aku mendengar apapun tentang kamu, ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku. Aku tidak ingin berharap apapun, aku takut suatu saat harapanku harus dipatahkan karena kenyataan berkata lain. Tapi sayangnya, sampai saat ini aku belum tau bagaimana caranya membatasi harapan. Aku juga belum tau bagaimana caranya untuk tidak berharap. 

Selasa, 28 Juni 2016

Mengingat Kematian

Selamat malam. Malam ini aku ingin menulis tentang sesuatu yang sedikit ‘seram’, menurutku. Aku ingin menulis tentang sesuatu yang pasti terjadi pada kita semua : kematian.

Beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah tulisan yang berjudul ‘5 Tanda 100 Hari Menjelang Kematian’. Tulisan itu sungguh membuatku gemetar dan tak henti-hentinya menangis. Dalam tulisan itu disebutkan tanda-tanda jika kita sudah 100 hari, 40 hari, 7 hari, 3 hari dan 1 hari menjelang kematian. Tanda-tanda yang disebutkan dalam tulisan tersebut merupakan tanda-tanda yang mungkin dianggap sepele oleh kebanyakan orang, sampai mungkin kita tidak akan menyadari tanda-tanda tersebut.

Aku takut. Aku takut kalau tiba-tiba saja tanda-tanda tersebut muncul sehingga aku sadar bahwa waktuku tinggal sebentar lagi. Aku juga takut tidak menyadari tanda-tanda tersebut sehingga akhirnya lalai dalam mempersiapkan semuanya. Aku takut jika nanti pergi tanpa mempersiapkan apapun. Aku belum siap. Sungguh, aku belum siap.

Aku tidak tahu kapan waktuku akan datang. Aku hanya berharap diberi umur panjang, sampai semua tugasku di dunia ini selesai, sampai aku rasa mempunyai cukup bekal untuk melanjutkan kehidupanku di alam yang selanjutnya. Saat ini masih banyak yang ingin aku lakukan. Aku juga tidak mau meninggalkan siapapun yang saat ini ada di dalam hidupku. Aku sangat sayang kepada mereka, aku harap kita bukan hanya bersama di dunia saja, tapi di akhirat juga.

Dari beberapa tulisan yang pernah aku baca, aku cukup mengerti bahwa alam kubur sangat mengerikan. Hanya amalan kita selama di dunia yang akan menemani kita di sana. Tidak ada keluarga, teman, atau siapapun yang sebelumnya kita kenal di dunia. Kita akan menjalani semuanya sendiri. Jika amalan kita baik, maka berbahagialah karena di sana kita tidak akan merasa sendiri. Namun jika amalan kita buruk, maka celakalah.

Sampai tulisan ini dibuat, aku masih saja tak kuat menahan tangis. Aku selalu takut jika ingat pada kematian. Aku tahu, kematian bukanlah suatu hal yang harus ditakuti karena itu adalah sesuatu yang pasti. Kematian pasti akan datang kepada kita, mau tidak mau, siap tidak siap. Banyak-banyaklah mempersiapkan diri karena kita tidak tahu kapan malaikat maut akan menjemput. Semoga kita semua kembali kepada-Nya dalam keadaan khusnul khotimah. 

Sabtu, 04 Juni 2016

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana

Kau ini bagaimana?
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir

Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau serimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana?
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana?
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana?
Atau aku harus bagaimana?

-Gus Mus, 1987-

Jumat, 29 April 2016

Kagum

Aku mulai mengenalmu sekitar 3 tahun yang lalu. Saat itu, kamu sedang menjadi ketua pelaksana dalam suatu acara dan aku menjadi salah satu panitianya. Pembentukan kepanitiaan yang mendadak membuatku tak mengenal panitia lainnya satu persatu. Dulu aku adalah seorang wartawan kampus, acara seperti itu tentu saja membuatku harus melakukan peliputan. Di akhir acara, aku mewawancarai kamu sebagai ketua pelaksana. Meskipun kita ada dalam satu lingkungan yang sama, tapi jujur saja.. Saat itu aku baru pertama kali melihat kamu. Kamu menjawab setiap pertanyaan dariku dengan cukup sopan dan tegas. Dari cara bicaramu, aku melihat bahwa kamu adalah orang yang memiliki kepribadian yang baik.

Setelah acara itu, aku jarang sekali bertemu denganmu karena mungkin ada ‘perbedaan’ di antara kita. Aku melihat kamu aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Kita juga sepertinya pernah ada dalam satu kepanitiaan acara yang sama. Namun waktu itu aku tidak menyadari kehadiranmu. Mungkin jumlah panitia yang cukup banyak membuatku tak bisa mengetahui secara detail siapa saja anggota dari divisi lain.

Beberapa tahun kemudian, kamu mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar daripada acara yang pertama kali mempertemukan kita. Tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada itu. Ketika mendengar kabar itu, aku senang bukan main. Entah kenapa.. Tapi aku rasa kamu cocok untuk menjadi seorang pemimpin. Setelah beberapa tahun tahu tentang kamu, meskipun hanya tahu dari apa yang aku lihat, menurutku kamu adalah sosok yang bertanggung jawab. Kamu adalah sosok pemimpin yang luar biasa.

Ketika menjabat sebagai seorang pemimpin, aku tak melihat kamu lantas berubah menjadi sosok yang sombong ataupun angkuh. Kamu dapat merangkul semua lapisan mahasiswa yang kamu pimpin. Kamu adalah pemimpin yang sederhana. Meskipun ada dalam jabatan tertinggi sekalipun, kamu tetap menunjukkan kerendahan hati. Entah ini hanya penilaianku saja sebagai orang yang tidak terlalu mengenalmu, tapi setahuku aku tidak pernah mendengar kabar negatif tentang kamu.

Di luar sana, aku melihat banyak lawan jenis yang mengagumimu. Mereka seringkali menyampaikan salam lewat salah satu official account yang ada di kampus kita. Pernah juga aku lihat mereka terang-terangan menunjukkannya dalam salah satu akun sosial media yang kamu punya. Namun kamu hanya menanggapi sewajarnya. Kamu tidak lantas besar kepala karena banyak orang yang kagum terhadap kamu. Dari beberapa hal yang pernah kamu tulis, aku melihat bahwa kamu adalah orang yang mendahulukan-Nya dibandingkan apapun. Sungguh, itu adalah salah satu nilai lebih yang kamu punya. Dan juga mungkin menjadi salah satu alasan orang lain untuk mengagumi kamu.

Beberapa waktu yang lalu, kita hadir dalam satu acara yang sama. Awalnya aku tidak tahu bahwa ada kamu juga di sana, tapi ternyata kamu duduk persis di belakangku. Malam itu aku mendapatkan penghargaan dalam satu acara yang ada di kampus. Setelah turun dari stage, kamu tiba-tiba mengajakku berbincang. Aku yang cukup kaget hanya dapat menjawab dengan sebiasa mungkin. Aku tidak mau kamu tahu bahwa sebenarnya jantungku sedang berdegup lebih kencang dari biasanya. Setelah pergi dari acara itu, rasanya aku tidak bisa melupakan kejadian tersebut. Setelah beberapa tahun saling mengenal, baru beberapa kali saja kita melakukan perbincangan secara langsung.

Dari seorang teman, aku tahu bahwa kamu adalah seorang pekerja keras. Kamu adalah seorang dengan mimpi yang besar, dan kamu akan berusaha terus sampai mimpi itu tercapai. Sama seperti aku, jika mempunyai suatu mimpi aku pasti akan sebisa mungkin menggapai mimpi tersebut. Aku senang jika menemukan orang yang seperti itu juga. Di sisi lain, kamu juga adalah seorang yang pintar. Bukan hanya pintar dalam hal akademik, tapi juga pintar membawa diri. Pintar dalam artian yang sesungguhnya. 

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Apakah ini hanya rasa kagum? Atau apa? Setiap bagian yang ada dalam dirimu selalu berhasil membuatku berdecak kagum. Kamu adalah sosok yang selama ini aku cari. Jika ingin tahu aku menyukai lelaki yang seperti apa, mungkin kamulah jawabannya. Aku ingin suatu saat memiliki pendamping yang seperti kamu, yang bisa membawaku ke arah yang lebih baik. Tapi katanya, lelaki yang baik adalah untuk wanita yang baik, dan juga sebaliknya. Mungkin saat ini sudah waktunya memperbaiki diri untuk mendapatkan yang ‘setara’. Tidak harus kamu, tapi aku harap sosok itu bisa seperti kamu.

Sabtu, 05 Maret 2016

Tentang Kamu dan Inspirasiku

Hallo, rasanya sudah lama sekali blog ini aku tinggalkan. Apa kabar? Untuk siapapun yang membaca tulisan ini, semoga semuanya dalam keadaan baik.

Akhir-akhir ini, aku merasa ada yang kurang, seperti ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Semua berawal dari pertanyaan salah seorang teman di komunitas beberapa waktu yang lalu. Percakapan kita kurang lebih seperti ini :

A : “Va, kamu masih suka nulis?”

B : “Aku udah gak nulis lagi.”

Setelah berkata seperti itu, ada hening beberapa saat di antara kami. Serasa ada yang aneh dengan perkataanku itu.

B : “Oh maksudnya suka kok, tapi udah lama gak nulis.”

Aku buru-buru meralat perkataanku. Rasanya tidak bisa dipercaya ketika ditanya bisa langsung menjawab seperti itu. Tidak bisa dipungkiri, aku memang sudah lama vakum dari dunia tulis menulis. Tulisan-tulisan terakhir pun hanya berakhir di folder draft, semua yang ada di pikiran tidak lagi dapat aku tuangkan dalam bentuk tulisan.

Entah kenapa.. Satu tahun yang lalu, di saat kamu benar-benar pergi, rasanya semua inspirasiku juga ikut pergi. Selama dua tahun berturut-turut kamu yang aku jadikan inspirasi dalam menulis. Di saat kamu pergi, semuanya ikut pergi. Tulisanku seperti tidak lagi hidup, hambar sekali. Beberapa tulisan terakhirku hanya berisi tentang aku yang sedang menunggu kamu yang tidak juga datang. Beberapa kali aku tuliskan bahwa aku rindu, tapi entah kamu baca atau tidak. Rasanya tidak ada topik lain yang bisa aku tuliskan. Ternyata menjadikan orang baru sebagai inspirasi bukanlah hal yang mudah.

Lama-lama aku sadar bahwa duniaku bukan hanya tentang kamu, kamu dan kamu. Masih banyak hal yang bisa aku tuliskan. Kamu sudah cukup menjadi tokoh utama dalam beberapa tulisanku sebelumnya, tapi sekarang tidak lagi. Mungkin suatu saat akan kembali aku tuliskan jika aku sedang rindu atau apalah itu. Yang pasti, tidak saat ini. Aku juga tahu, saat ini tulisanmu bukan lagi tentang aku. Tapi sudahlah, semuanya sudah lewat. Jika kamu membaca tulisan ini, ketahuilah bahwa kamu sempat hidup dalam tulisan-tulisanku. Ketahuilah juga bahwa aku sempat menunggu kamu dalam waktu yang lama, begitu lama. Tapi sekarang sudahlah.. Aku harap kita masih bisa berteman baik.