Kamis, 29 Juni 2017
Tentang Delapan Tahun yang Lalu
Teh, apa kabar? Hari
ini rasanya aku terlalu banyak mengingat. Hari lebaran selalu mampu membangkitkan
semua kenangan. Meski sudah delapan tahun berlalu, tapi semuanya masih
tersimpan rapi dalam kotak ingatan.
Teh, maafkan aku. Aku
belum sempat menjenguk ke peristirahatan terakhirmu. Hari ini aku sudah berniat
untuk pergi ke sana, namun kondisi memaksaku untuk mengurungkan niatku tersebut.
Tapi sore tadi aku sudah mengunjungi keluargamu, apa kamu tahu? Senang sekali
rasanya ada di antara mereka. Pelukan tak jarang mereka bagi, seolah aku adalah
salah satu anggota keluargamu. Ibumu sudah kuanggap ibuku sendiri, begitu pula
dengan ayahmu.
Teh, bolehkah aku
mengingat semuanya? Semua kisah pahit yang terjadi delapan tahun yang lalu,
semua masih terekam jelas dalam ingatan. Semoga kamu tidak sedih ya jika tahu aku
menuliskan lagi semua ini. Semua ini semata-mata karena aku rindu, sangat
rindu, semoga kamu dapat mengerti.
Hari itu, 21 September
2009. Suasana lebaran masih terasa jelas. Tradisi silaturahmi dari rumah ke rumah
masih dijalankan, mengingat itu adalah lebaran hari kedua. Saat itu keluargaku
sedang berkunjung ke rumah nenekmu yang letaknya persis di samping rumahmu. Saat
itu usiaku masih 14 tahun, menurutku, usia yang masih pantas untuk tidak
menyimak apa yang orang-orang dewasa perbincangkan. Namun fokusku langsung
terkumpul ketika melihat nenekmu tiba-tiba menangis. Aku mencoba untuk menyimak
pembicaraannya. Ternyata, katanya pagi hari itu kamu pingsan ketika
bersilaturahmi di rumah salah satu saudara. Katanya kamu muntah darah. Betapa
paniknya aku saat itu.
Orang-orang pasti tahu,
aku dan kamu sudah bersahabat sejak kecil. Meskipun usia kita terpaut 4 tahun. Dan
saat itu, kita sedang dekat-dekatnya. Mendengar kabar tersebut, tentu saja aku
langsung bergegas ke rumahmu. Aku tak kuasa menahan tangis ketika melihatmu
sedang terbaring lemas, menghadap kiblat. Tak ada yang berani membangunkanmu,
termasuk aku. Tanpa kusangka.. Itu adalah saat terakhirku melihatmu dalam
keadaan masih hidup.
Esoknya, 22 September
2009, entah apa yang ada di pikiranku sehingga aku tidak menjengukmu. Jika tahu
bahwa kamu akan pergi, mungkin aku akan menemanimu seharian. Ada di sampingmu,
menemanimu di saat-saat terakhirmu. Malamnya, aku mendapat kabar dari kakakmu
bahwa kamu masuk rumah sakit. Keadaanmu memburuk. Kamu harus tahu, malam itu
aku tak pernah berhenti memikirkanmu. Perasaanku sudah campur aduk. Rencananya,
esok hari aku akan menjengukmu ke rumah sakit. Tapi ternyata semuanya
terlambat..
Keesokan harinya, 23
September 2009, ketika sedang tertidur pulas aku dibangunkan oleh suara riuh
dari balik pintu kamar. Orang-orang bergantian mengetuk pintu kamarku yang saat
itu terkunci, saling bersahutan memanggil namaku. Aku yang setengah sadar lantas
membukakan pintu kamar. Saat itu, jam masih menunjukan pukul 3.30. Ternyata,
dua sahabatku yang lain dan kakakmu yang datang. Mereka memelukku dan
mengatakan bahwa kamu sudah pergi. Aku tak bisa berkata-kata saat itu. Hanya
tangis yang mampu berbicara banyak.
Sesaat kemudian, kami
bergegas menuju rumahmu. Katanya, jenazahmu masih di rumah sakit dan sebentar lagi
akan diantar ke rumahmu. Suasana duka sangat terasa saat itu. Tangis menggema
di setiap sudut rumahmu. Beberapa menit kemudian suara ambulance datang
mengantarkan jenazahmu. Aku masih tak bisa percaya bahwa kamu sudah pergi.
Melihatmu sudah terbujur kaku di depan mataku, rasanya seperti mimpi. Usiamu
masih terlampau muda, masih 18 tahun, mengapa harus pergi secepat ini?
Ketika mengantarkanmu
ke peristirahatan terakhir, rasanya tangisku semakin membuncah. Kamu pergi
untuk selamanya. Aku masih tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup
tanpamu, orang yang hampir setiap hari ada menemaniku. Orang yang kesabarannya
melebihi batas. Orang yang selalu jadi penasihat terbaik, selalu ada ketika
dibutuhkan.
Ternyata semua firasatmu
benar. Semua yang kamu tulis di sosial mediamu, semuanya menjadi kenyataan.
Katamu, kamu tidak memiliki banyak waktu lagi. Dan kamu sangat takut menghadapi
semuanya. Di selembar kertas itu juga kamu menuliskan tentang isyarat
kepergianmu. Mungkin Allah sudah memberitahumu melalui beberapa pertanda, agar
kamu lebih siap jika hari itu datang.
Kalau kamu masih ada,
mungkin kamu sekarang sudah menjadi wanita berusia 26 tahun. Aku tidak bisa
membayangkan betapa cantiknya kamu di usia itu. Mungkin kamu akan jatuh cinta,
menikah, lalu memiliki anak. Namun semua hal tersebut tak sempat kamu wujudkan.
Kamu pergi di saat usiamu masih terlalu muda. Padahal kamu tahu? Masa muda
adalah masa yang paling berkesan. Namun Allah memanggilmu terlalu cepat
sehingga kamu tidak dapat merasakan semuanya.
Teh, katanya orang yang
baik selalu dipanggil lebih dulu. Dan sekarang aku percaya semua itu. Kamu
orang yang sangat baik, orang yang sholehah. Kita semua sayang kepadamu, tapi
ternyata Allah lebih sayang. Allah tidak mau membiarkanmu merasakan sakit lebih
lama lagi. Terkadang, dalam satu kesedihan ada hal yang harus kita syukuri.
Percayalah, Allah punya rencana lain yang lebih indah.
Teh, tidak banyak kata
yang bisa aku tuliskan untuk menggambarkan betapa rindunya aku saat ini. Aku
hanya bisa berdo’a agar kamu ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya. Maaf
jika aku hanya bisa mengunjungimu sesekali saja, yang pasti do’aku tidak akan
pernah putus. Baik-baik ya di sana, aku tahu Allah sudah memiliki tempat yang
terbaik untukmu.
Sampai jumpa lagi di
kehidupan selanjutnya, semoga kita bisa dipertemukan kembali.
Untukmu, sahabat
sekaligus kakak terbaik. Almh. Ratih Angrum Sari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar (+add yours?)
Posting Komentar